BERANDA

Hindu

          



                    UPACARA MEDIKSA.
      Kata upacara berakar dari kata Upa dan Cara. “Upa” arinya dekat atau mendekat. “Car” bisa diartikan dengan keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan diri. Jadi Upacara bisa diartikan dengan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam diri yang akan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa ( Ida Pandita Mpu Yaja Wijayananda, 2004:49)
      Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia Diksa memiliki arti ketasbihan menjadi pendeta Budha (Balai Pustaka, 2003). Dalam agama Hindu juga mengenal adanya pendeta yang dalam pengangkatnya juga disebut Diksa atau Mediksa. Wiana ( 2004 ), juga mengatakan Diksa berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya pemberkatan, pentasbihan, penginisasian seseorang telah disahkan oleh seorang guru atau Nabe dari status Walaka menjadi Pandita.
      Dari segi Etimologi, Diksa berasal daru dua suku kata “Diipani” yang artinya terang yang menyinari dan “Papaksayam” yang berasal dari kata “papa” yang artinya sesuatu yang Negatif dan “Ksayam” yang artinya mengurangi. Jadi dapat diarikan dalam hal ini Diksa adalah terang yang menyinari dan mengurangi karma yang negatif ( Dhyanasakti dalam K.M Widyantara, 2008:164). Pengertian yang sama juga dijelaskan Wayan Widyantara dalan bukunya yang berjudul “Diksa Inisiasi Rohani” menyebutkan Diksa berasal dari kata “Dii” dan “Ksa”. “Di” berakar kata dari “dan” yang artinya pengetahuan Spiritual dan “Ksa” berasal dari kata “Ksaya” yang artinya menghancurkan kegiatan dosa. Jadi Diksa adalah pengetahuan spiritual yang akan menghancurkan dosa.
      Dalam perkambangan lebih lanjut dalam upacara penyucian diri untuk mencapai tingkat Dwijati banyak dikenal berbagai istilah yang memiliki arti yang sama dengan Diksa seperti : mapodgala, Masuci, Medwijati, dan Malinggih.

1.2.1                   Fungsi Upacara Mediksa

1.      Pengangkatan Status dari Walaka menjadi Sadaka.
2.      Pelaksanaan Ajaran Tri Rna.
3.      Peningkatan Jenjang Hidup.
4.      Pengamalan Amanat Bhetara Kawitan.
5.      Sebagai Wadah Interaksi Sosial.
6.      Mewujudkan Perputaran Ekonomi.
7.      Pelestarian Budaya dan Seni.
8.      Peningkatan Etika Religius.

1.2.2                   Persyaratan Upacara Diksa
      Di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang yang semakin pesat ditambah juga dengan perkembangan intelektual Umat Hindu yang semakin berkembang juga   mengikuti perkembangan jaman, tentu sangat diperlukan seorang Sulinggih yang berkualitas        sebagai pembina umat.

Adapun syarat-syarat calon Diksa untuk menjadi seorang Sulinggih ialah:

a)      Syarat Fisik.
            Menurut lontar Siwa Sesana yang diterjemahkan oleh Gde Pudja dkk, telah ditentukan syarat-syarat yang menyangkut tentang Sulinggih yaitu menyangkut syarat fisik yaitu: sehat jasmani dan sehat rohani, ini berarti badan haruslah matang, tidak cacat fisik, seperti pincang, bengkok, bisu, sengkok ( tangan tidak lurus), dll.      

b)      Syarat Kesusilaan.
            Bagi calon Sulinggih selain kesiapan fisik juga diperlukan suatu kesiapan kesusilaan. Adapun yang perlu harus dipersiapkan dalam kesiapan kesusilaan antara lain:

i)        Kesiapan Batin.
      Seorang calon diksa harus sudah melatih menyucikan batin. Penyucian batin ini bisa dicapai seperti melaksanakan yoga samadhi, sembayang ke pura-pura, melaksanakan Pawintenan Saraswati agar lebih mudah menerima ilmu pengetahuan, dan juga bila diperlukan calon Diksa bisa Mewinten Pemangku terlebih dahulu. Ini bertujuan agar supaya lebih awal dalam mempelajari Veda. Kesucian Batin amat sangat penting dalam pelaksanaan puja, japa, mantra pada saat setelah pelaksanaan Mediksa nanti, seperti yang tertulis dalam Arjuna Wiwaha sebagai berikut :
     
      “Wyartekang japamantra yan kasaluwir dening raja mwang tamah nghing yan        langgeng ingkang siwasmerti dating sradha bhatareswara”
Artinya:
      Jauhlah dari tujuan japamantra yang diucapkan itu apabila batin masih diikuti rajah dan tamah,tetapi apabila teguh ngarcana Dewa Siwa, maka yakinlah Bhatara Siwa             akan mendatanginya”
Jadi demikian pentinglah kesucian batin dalam mencapai gelar kesulinggihan.

ii)      Kesucian Pikiran.
      Kesucian pikiran untuk selalu berpegang teguh kepada dharma dan selalu menjahui adharma. Hal ini adalah salah satu syarat yang sangat mendasar sekali bagi seorang Sulinggih karena pikiran mempengaruhi segala ucapan dan tindakan yang dilakukan manusia. Dalam Manawa Dharmasastra 5.109 yang berbunyi:
      Adbhirgartani Cudhayanti
      Manah satyeni Cuddhyanti
      Widyatapobhyam bhrtatma
      Budhir jnanena Cuddhyanti
Artinya:
      Badan dibersihkan dengan air
      Pikiran dibersihkan dengan kejujuran
      Roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa
      Akal dibersihkan dengan kebijaksanaan

      Jadi bisa dipahami bahwa pikiran yang bersih memancarkan sinar yang terang bagi seorang calon Diksa sehingga bisa berdampak positif pada segala ucapan dan perbuatan dalam menjalankan kewajiban sebagai pelayan umat.       
     
iii)    Kebenaran Ucapan
      Dari batin yang suci dan pikiran yang jernih maka segala ucapan-ucapannya akan baik, jujur tetap dalam jalur dharma karena terkontrol oleh pikiran. Seorang Sulinggih harus menghindari perkataan yang keras, menghina, menuduh, ngawur, tidak etis yang hanya akan menyakiti orang lain. Dalam Kitab Sarasamuscaya sloka 124 disebutkan:
      Matangnyan mangke sang mahapandita,
      sang makabratang kasatyam, tan pangumanuman,
      tan pagawe pacunya, tan pangupat, nguniweh tan mrsawada,
      yatna juga sira amiheri ujarnira, rumaksa halaning len.
Artinya:
      Oleh karena itu, orang yang arif  bijaksana (pandita), orang yang berjanji atas dirinya            berpegang kepada kebenaran, tidak mencaci maki orang, tidak menfitnah, tidak       mencelah, lagi pula tidak berkata dusta (bohong), melainkan giat menahan ucapan- ucapanya, dan menjaga agar orang lain tidak terluka olehnya.
     
      Sumber yang lain juga ada yang menjelaskan mengenai perkatan seperti dalam Kekawin Niti Sastra Sargah V Kusumawicitra bait 3 sebagai berikut:
      Wasita nimittan ta manemu laksmi
      Wasita nimittan ta pati kepangguh
      Wasita nimittan ta manemu duhka
      Wasita nimittan ta manemu mitra
Artinya:
      Karena ucapanlah mendapatkan kesenangan
      Karena ucapanlah menemui ajal
      Karena ucapanlah mendapat kesedihan
      Karena ucapanlah mendapat teman

      Dari kedua sumber tersebut maka bisa ditahui bahwa ucapan sangatlah penting bagi seorang calon Diksa untuk selalu senantiasa mengeluarkan ucapan yang baik, jujur. Hal ini perlu diperhatikan sebelum melaksanakan Diksa.



iv)    Berperilaku Yang Benar.
      Dalam upacara Diksa calon Sulinggih harus memiliki sikap perilaku yang baik dan benar sesuai dengan Susila ajaran Agama Hindu. Perilaku yang benar ini harus diketahi secara mendalam, dihayati, dan diamalkan. Susila dalam agama Hindu yang meliputi  baik dan benar yang harus diketahui seorang calon Sulinggih disebut dengan Subhakarma yang antara lain :
·         Tri Kaya Parisudha ( Tiga perbuatan yang mulia).
·         Panca Yama Brata ( Lima macam pengendalian diri).
·         Panca Niyama Brata ( Sepuluh macam pengekangan).
·         Dasa Yama Brata ( Sepuluh macam pengendalian diri).
·         Dasa Niyama Brata ( Sepuluh macam pengekangan).
·         Dasa Dharma ( Sepuluh kebajikan).
·         Catur Purusa Arta ( Emapat Tujuan Hidup Manusia).
·         Catur Paramita ( Empat berbuatan Luhur)
·         Tri Hita Karana ( Tiga penyebab kebahagiaan)
·         Sad Guna ( Enam sifat Kebajikan )
·         Asada Brata ( Dua belas Brata yang Harus dilakukan)
·         Catur Aiswarya (Empat ajaran kerohanian untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin)
·         Sad Paramitha (Enam jalan Utama menuju Keluhuran yang budi)
·         Astha Sidhi (Delapan Ajaran kerohanian untuk mendapatkan kebahagiaan lahir batin).
·         Dasa Paramartha ( Sepuluh tingkah laku baik guna mencapai tujuan hidup dalam Kitab Slokantara Sloka 72)
·         Tri Brata ( Pengendalian diri)
·         Tri Sadhana ( Tiga jalan yang harus dilakukan)
·         Tri Parartha (Tiga hal yang menyebabkan kesempurnaan, kebahagiaan, kesejahteraan)
·         Catur Prawerti ( Empat pedoman hidup yang patut dilaksanakan oleh segenap umat Hindu termasuk calon Sulinggih).
·         Wiweka (Perilaku yang berjati-hati dan penuh pertimbangan).
·         Tat Twam Asi ( Dia itu kamu)
           
c)      Syarat Pengetahuan.
            Syarat pengetahuan merupakan syarat yang penting juga karena seorang Sulinggih nantinya harus bisa membimbing umat dan menjadi panutan bagu umat. Pengetahuan yang luas dan mendasarlah yang harus dimiliki seorang Sulinggih antara lain seperti pengetahuan Veda, Wariga, Upacara dan upakaranya, beberapa Stawa dan lain-lain. Pengetahuan ini akan sangat berguna bagi seorang calon Diksa yang nantinya akan jadi seorang Sulinggih.

d)      Syarat Administrasi.
            Berdasarkan Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV butir 44 tentang pedoman Upacar Diksa, menyatakan tentang semua warga negara yang memenuhi syarat dapat melaksanakan Upacara Diksa menjadi Sulinggih. Adapun syaratnya adalah:
           
·         Laki-laki dewasa sudah kawin dan Nyukla Brahmacarya.
·         Wanita yang sudah kawin atau tidak kawin (Kanya)
·         Pasangan suami istri
·         Umur minimal 40 tahun
·         Paham dalam Bahasa Kawi, Sansekerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran-ajaran agama.
·         Sehat lahir batin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana.
·         Berkelakua baik, tidak pernah bersangkut perkara pidana.
·         Mendapat tanda kesediaan dari calon nabenya yang akan menyucikan.
·         Sebaiknya tidak terikat pekerjaan kecuali bertugas untuk agama.

Semua persyaratan diatas hendaknya dipenuhi dan dilengkapi oleh seorang calon Diksa. Selain syarat bagi seorang calon Diksa ada syarat lain lagi yang harus dipenuhi yaitu harus memilih calon Nabe (guru). Nabe inilah yang nantinya akan menuntun dan mengajari tentang kesulinggihan. Dalam Himpunan Keputusan Seminar kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek agama Hindu, tentang pedoman Pelaksanaan Upacara Diksa poin II disebutkan syarat-syarat Nabe yaitu :
·         Seorang yang selalu dalam bersih dan sehat, baik lahir maupun batin.
·         Mampu melepaskan diri dari keduniawian.
·         Tenggang dan bijaksana.
·         Selalu berpedoman kepada Kitab Suci Weda.
·         Paham dan mengerti mengenai Catur Weda.
·         Mampu membaca Sruti dan Smerti
·         Teguh melaksanakan Dharma Sadhana ( sering berbuat amal, jasa, dan kebaikan)
·         Teguh melaksanakan Tapa dan Brata.

            Untuk dapat mengikuti Upacara Mediksa seorang calon Diksa harus memenuhi syarat administrasi sesuai ketentuan dari Sabha Parisada Hindu Dharma II No. V/ KEP/PHDP/ 68 berikut ini:
v  Calon Sulinggih harus mengajukan surat permohonan kepada Parisada setempat selambat-lambatnya tiga bulan sebelum pelaksanaan Upacara Mediksa.
v  Permohonan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
v  Permohonan dilampiri dengan surat keterangan:
1.      Berbadan sehat.
2.      Berkelakuan baik.
3.      Surat keterangan tentang kecakapan
4.      Riwayat hisup
5.      Tidak tersangkut perkara, dll.


1.2.3                   Tata Cara Pelaksanaan Upacara
      Tata cara pelaksanaan upacara Diksa ini diambil dari tata urutan pelaksaan Diksa dalam rontal Krama mediksa dengan memperhatikan pula keputusan Seminar kesatuan Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1987/1987 ( Wayan Suarjana, 2007:50). Adapu syarat-syarantnya yaitu:

1.      Upacara pengawitan.
a.       Upacara Mejamuan.
            Calon Diksa (suami istri) pergi ke rumah calon Nabe membawa banten semestinya. Ini bermaksud untuk menyatakan bahwa upacara siap dilaksanakan.
b.      Sembah pamitan keluarga.
            Sebelum Mediksa calon Diksa wajib meminta do’a restu kepada orang tua atau keluarga dengan menyembahnya agar selamat pada saat upacara dan setelah upacara. Sembah ini merupakan sembah terakhir, karena seorang wiku tidak boleh menyembah siapapu yang masih Walaka.
c.       Mapiton.
            Pertama-tama upacara ke segara atau gunung untuk membersihkam diri Asucilaksana . dalam hal ini sekurang-kurangnya ke khayangan tiga. Pelaksanaan Mapiton bisa dilaksanakan di merajan Nabe atau di Merajan calon Diksa.
2.      Upacara Puncak.
a.      Upacara mati Raga atau Penyekeban.
           Sebelum upacara mati raga, calon Diksa dilukat oleh nabe, dilanjutkan dengan muspa. Setelah itu baru melaksanakan mati raga yaitu melaksanakan Yoga. Busana serba putih, sikap tangan Ngrekep dan Agranasika serta melakukan Mona Brata dan Upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh, yaitu sehari sebelum Upacara Diksa.
b.      Upacara Mandi atau Masiram.
           Masiram ini dilakukan oleh calon Diksa pada pagi-pagi buta sekitar jam 05.00 waktu setempat. Upacara ini dipimpin olrh Guru Saksi dan memakai Toya dari guru Nabe. Calon diksa laki-laki dimandikan Wiku Laki-laki dan Calon Diksa wanita dimandikan Wiku wanita, dibantu sanak keluarganya. Calon Diksa memakai wastra patelasan Rurup kain putih dan sikap tangan Amusti Agranasika. Didalam masiram ini ada dua cara yaitu: Calon Diksa bersikap seperti orang mati, dirurup kain putih dan digotong ketempet masiram seperti memandikan mayat biasa. Kedua, calon Diksa tidak dimandikan seperti orang mati melainkan mereka berjalan dan dituntun ketempat masiram. Dalam cara ini tidak memakai rurup putih tapi hanya memakai wastrapatelasan saja, sikap tangan Amusti Granasika. Setelah selesai masiram, calon Diksa dirias seperti Wiku memakai pakaian putih dan tatanan rambutnya seperti sang Wiku juag untuk melaksanakan Mapuja.

3.      Upacara Pokok.
a.      Sementara calon Diksa dihias, Sang Adhiguru atau Nabe bersama Guru Saksi munggah mamuja seperti bagaimana maestinya.
b.      Atas panggilan Nabe, maka Calon Diksa datang ketempat upacara dan duduk didepan pemerajan. Calon Diksa Mebyakala. Dilanjutkan Muspa yang dituntun oleh Nabe.
c.      Calon Diksa menghadap ke Nabe dan duduk dibawah. Calon Diksa laki-laki duduk di sebelah kan dan istrinya disebelah kiri.
d.      Kaki Nabe diberi pangresikan, penyeneng, isuh-isuh, tepung tawar, lis,banten sorowan.
e.      Calon Diksa ngewasuh pada kaki Nabe, air wasuh dipakai cuci muka.
f.       Calom Diksa nyusutin kaki Nabe dengan kain putih.
g.      Calon Diksa menjilat ibu jari kiri kaki Nabe.
h.      Anyuwun-pada atau napak. Kepala yang di Diksa diinjak oleh ibu jari kiri Nabe.

Nabe memberi eteh-eteh pembersian:
a.       Sang Diniksan mengadahkan tangan.
b.      Nabe angregep yoga-samadhi mengucapkan mantra.
c.       Menggunting kuncup bunga tunjung diatas kepala Diniksan, dengan mantra tertentu dilanjutkan dengan memotong rambut Mancadesa Sang Diniksan disertai juga Welmingmang 5 buah menggunakan cincin mas permata mirah, geguntingan itu dimasukan ke Belayagental dan ditanam di Ulon sanggar Kamimitan (Setelah upacara selesai).
d.      Diberi pengerobodan atau pengerebmala( Kusa Pengaras) dengan mantra tertentu.
e.       Dicucuri air kendi Padyudusan kepala Sang Diniksan dengan mantra tertentu.
f.       Diberi Segawu seperti Mebhasma di kepala, di rambut, di muka, di leher, di bahu kiri kanan dengan mantra tertentu.
g.       Diberi Isuh-Isuh dengan mantra tertentu.
h.      Diberi tepung tawar dengan mantra tertentu.
i.        Diberi cucuckan itik putih dengan mantra tertentu.
j.        Diberi Lis dengan mantra tertentu.
k.      Diberi Toya Padyudusan seluruhnya dicampurkan menjadi satu dengan mantra tertentu.
l.        Diberi Tirta Panglukatan dengan mantra tertentu.
m.    Diberi panyeneng dengan mantra tertentu.
n.      Diberi Prayascita Luwih selengkapnya dengan mantra tertentu dilanjutkan dengan Astra mantra dengan Mudra selengkapnya, dilanjutkan dengan Angili-atma, Amretikarani, Siwikarani, Pasang Padma Agung, selesai Nabe Ngarcana Padma, disuruh Sang Diniksan menyembah Nabe sebanyak satu kali.
o.      Ambil bunga tunjung pengguntingannya ditaruh di Prastala, lalu Ungkulang di atas kepala Diniksan, dengan mantra tertentu, dilanjutkan dengan memberi Padma-hrdaya selengkapanya dan ketika itu Sang Diniksan tetap mengadahkan tangan.
p.      Diberi pungu-pungu dengan mantra tertentu.
q.      Diberi sekah dengan mantra tertentu, Sang Diniksan menyembah Nabe dengan Kalpika dengan mantra tertentu.
r.        Diberi Tirta Amerta Siwamba dengan japa mantra tertentu dilanjutkan dengan diberi tetebusan agung dengan mantra tertentu dan ayabin Pras Panca Wara dengan mantra tertentu pula.
s.        Diberi pasopati dengan memberi Pacatukawikon, dengan mantra tertentu dan Mudra selengkapnya (ketika Nabe memegang Kawikon, Sang Diniksan Menyembah Nabe)
t.        Mejaye-jaye dengan mantra tertentu dilanjutkan dengan Nabe memberi Pawisik. Pawisik ini sangat penting bagi Diniksan yang akan dipakai sebagai pegangan hidup.
u.      Nabe memberikan nama Abhiseka (Amari aran), dilanjutkan dengan Sang Diniksan memohon diri (pamit) kepada Nebe dengan berjalan mundur.
v.      Sang Diniksan menuju tempat undangan berada. Parisadha mengumumkan nama Abhisekanya dan membacakan surat keputusan.
w.     Nabe dan guru saksi turun dari pamujan dan upacara selasai.
4.      Upacara Penguntat.
a.         Ngaturab Jauman  :
Pada hari ke-3 setelah Mediksa, Wiku sisya menghadap ke rumah Sang nabe ngaturang jauman. Pada waktu itu sang nabe memberikan mantra yang akan dipakai oleh Wiku sisya.
b.        Ngajar-ajar :
Melakukan ajar-ajar ke laut, ke gunung, ke Pura Sad kahyangan dan Linggih kekawin.
c.         Ngalingihan Weda :
Wiku sisya memohonijin kepada Sang Nabe untuk ngelinggihan Weda, dibimbing oleh guru watra. Upacara ini dihadiri dan disaksikan guru, parisadha, pemerintah, dan masyarakat setempat. Setelah upacara Ngelinggihan Weda selasai maka parisaha mengumumkan ijin Ngalokapalasraya yang diberikan oleh Nabe.
d.        Upacara masanga Linggah :
Setelah setahun Ngelinggihan Weda, Wiku sisya menghadap Nabe lagi memohon ijin Upacara masang Lingga, upacara ini disaksikan langsung oleh nabe.

1.2.4                   Bhusana Kawikon
      Srana kepanditaan sebagai atribut yang sangat penting yang harus digunakan adalah Bhusana Kawikon. Bhusana Kawikon menjukan suatu spesifikasi sehingga menampilkan suatu identitas atau jati diri.
      Selanjutnya tentang bhusana Kawikan pada saat Upacara Mediksa. Bhusana kawikon ada dua macan yaitu Bhusana Kawikon yang digunakan pada saat mepuja dan Bhusana Kawikon yang digunakan pada saat tidak  mapuja. Bhusana Mapuja juga ada dua macam yaitu bhusana lengkap dan tidak lengkap.
      Adapun bhusana yang dipakai untuk Upacara mediksa yang dipakai oleh Diknisan adalah bhusana untuk mepuja yang tidak lengkap terdiri dari :
a.       Kain atau wastra putih.
b.      Papetet (sabuk)
c.       Kampuh putih atau dodot.
d.      Santong (papetet untuk kampuh)
e.       Sampet atau yang disebut juga pepasang.

1.2.5                   Sarana Upacara Diksa
      Mengenai upakara atau banten yang digunakan dalam upacara Diksa, di dalam ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma ke-2  Tahun 1968 tidak dicantumkan mengenai upakara yang digunakan untuk upakara Diksa. Demikian pula dalam keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Mengenai Pedoman Pelaksanaan Diksa, Upakara yang digunakan dalam upacara Diksa tidak dicantumkan.
      Satu-satunya pustaka rontal yang mencantumkan upakara atau banten mediksa adalah pustaka rontal Karma Mediksa (Suarjaya, 2007: 41) yang menyebutkan secara lengkap dan rinci. Upakara yang disebutkan itu adalah sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kalaupun ada perbedaan kemungkinan hanya sedikit dan tidak merupakan perbedaan yang prinsip.
      Dalam Rontal Karma Mediksa (Suarjaya, 2007: 42) dijelaskan jenis upakarayangdigunakan dalam upacara Mediksa antara lain :
A.     Ngadegang Sanggah Surya Sewana, munggah banten:
1.      Catur rebah mentah rateng asoroh
2.      Daksina agung sarwa pat siki
3.      Pras ageng dandanan
4.      Suci laksana petang soroh
5.      Dewa-dewi
6.      Siwa bawu
7.      Pucuk bawu
8.      Siwa gotra-Siwa gotri
9.      Rayunan-perangkat putih kaling prangkat
10.  Prayascita luwih
11.  Sesayut sambut urip
12.  Sesayut atma-rawuh
13.  Sesayut Pembersihan
14.  Canang Pangresik satangkep
15.  Rantasan kalih pradeg putih-kuning lanang-wadon
16.  Rayunan-prani apajeg
17.  Awar-awar pisang-leger, uduh, peji, acak, bingin, andong, kayu sugih

B.     Upakara ring sor ring arepan surya.
1.      Bale paganian
2.      Suci asoroh
3.      Daksina ageng sarwa pat siki
4.      Pras
5.      Ajuman saha dan dandonia
6.      Gelar sanga
7.      Segehan agung
8.      Tetabuhan arak berem

C.     Ngadengang Sanggar Paguru-kraman.
Maring utara marep kidul tatige kwehnia maakit dados asiki. Sane pinih kulon pinih andap, sane ring media ruhuran, mwah sane pinih purwa pinih ruhur. Sami mungguh banten asoroh swang-swang ;
1.      Daksina alit asiki
2.      Wastra tigasan putih
3.      Suci-laksana asoroh
4.      Pras
5.      Ajuman
6.      Rayunan prangkat asiki

D.     Upakara ring arepan Sang Adhiguru mapuja :
1.      Daksina sarad isinia sarwa kutus asiki
2.      Suci laksana kakalih saha dandania
3.      Pras ageng kakalih
4.      Ajuman kakalih
5.      Jinah sesantun


E.      Upakara ring arepan Guru Saksi:
1.      Daksina sarad isinia sarwa kutus asiki.
2.      Suci laksana kakalih saha dandania
3.      Pras ageng kakalih
4.      Ajuman kakalih
5.      Jinah sesantun

F.      Adhiguru Mapuji:
1.      Sapokaraning padudusan-alit
2.      Daksina ageng sarwa pat asiki
3.      Suci ageng asoroh saha cedania
4.      Pangguruyagan  pada niri asiki sang diniksan
5.      Pisang jati pada masiki
6.      Sekah-suhun
7.      Pajajiwan
8.      Pungu-pungu
9.      Pengerobodan
10.  Pras pancawarna
11.  Katipat prastala pada wijanan
12.  Lalang welmingmang-pagunting pada wijanan
13.  Tetebasan masayut
14.  Cucukan itik putih asiki
15.  Cucukan ayam sudhamala asiki
16.  Praystita luwih asiki
17.  Penyenang tahenan asiki
18.  Isuh-isuh
19.  Tepung tawar
20.  Segawu
21.  Lisdegdeg aprangkat
22.  Padudusan (kadi pralagi)
23.  Pasasayut asoroh (sakramaning sasayut Sang Sadhaka maka pengideran jangke )
24.  Catur sari

G.     Upakara Mapiton (katuring sang Adhiguru)
1.      Klasa anyar
2.      Tilam
3.      Wastra Sapradeg
4.      Tedung
5.      Rayunan matah (katur ring sang Adhiguru)
6.      Sedah pucangan sanggraha
7.      Banten pengelemek mwah malaku tirtha panglukatan pamontonan (pejati)
8.      Banten pengelemek asoroh
9.      Daksina
10.  Pras
11.  Ajuman
12.  Katipat bantal
13.  Sasangan kukus barak putih selem
14.  Pras daksina-ajuman asoroh (pengajum tirtha penglukatan)
H.     Upakara Amati-raga (ring paturuan)
1.      Tumpang putih, kuning barak, selem pada madanan, iwak ayam pinangan sama anut warnaning tumpeng.
2.      Pras
3.      Sodan
4.      Suci asoroh
5.      Daksina ageng sarwa pat asik
6.      Penyenen
7.      Segehan anyatur warna
8.      Tatabuhan tuak, arak, brem, yeh

I.        Upakara pajati (katur ring Kawitan sakabhawatan manut kawentenania).

J.       Upakara pakideh ring genah upacara manut kadi pralagi.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking